Rora kembali menelepon. Ia pasti sangat kebingungan. Ia pernah kehilangan anak perempuan. Mati ditabrak bus ketika ia menyeberang jalan menuju sekolahnya. Kejadian itu terus mengganggu pikiran Rora bertahun-tahun.
Sementara itu, pada pagi saat berita itu muncul di sejumlah laman media massa daring, Bitsi masih malas-malasan di tempat tidur dan memutuskan bolos kerja karena semalam ia lembur hingga malam dan badannya pegal-pegal. Baru setelah agak siang, ia meraih ponsel yang sengaja diaturnya dalam mode diam dan membukanya, bermaksud memberi tahu bos yang sekaligus temannya, tapi ia justru menemukan sejumlah panggilan dan pesan Whatsapp dari pemilik usaha katering itu.
Bitsi, itu
bukan kamu kan?
Jawab, Bitsi,
itu bukan kamu?
Ya, Tuhan, aku
benar-benar akan gila.
Bitsi belum
sepenuhnya mengerti sampai ia membuka tautan berita yang dikirimkan Rora,
bosnya itu, yang diikuti pertanyaan: Kenapa kamu tidak mengangkat telepon?
Kenapa tidak balas pesan? Apa kamu beneran mati?
Bukannya
membalas pesan Rora, Bitsi malah berselancar lebih jauh ke berbagai laman surat
kabar dan membaca nyaris seluruh berita tentang kasus ditemukannya mayat
telanjang itu dan berpikir di dunia ini pasti ada puluhan atau bahkan mungkin
ratusan perempuan yang memiliki tato seekor gagak di dada kanannya. Tentu saja
itu bisa terjadi. Tidak ada yang tak mungkin di dunia yang ajaib ini, bukan? Namun,
dada Bitsi tetap saja berdetak-detak keras, antara takjub dan cemas, dan
pelan-pelan mengental menjadi rasa ngeri, dan buru-buru ia mencari nomor kontak
Rora, menekannya dengan jari gemetar.
Rora tidak
menjawab panggilan telepon. Barangkali perempuan itu tengah muntah-muntah di
kamar mandi—sebagaimana biasanya bila ia mendapat kabar buruk. Bitsi
melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Ia buru-buru membuka seluruh
pakaiannya. Lalu ia berdiri di depan cermin. Tubuhnya tampak lebih kurus dari
seharusnya sampai ia berpikir jangan-jangan perempuan di cermin itu bukan
dirinya. Ia pasti saja turun sekian kilo selama seminggu ini, setelah terakhir
kali ia menimbang berat badan. Payudaranya yang kecil tampak menyedihkan.
Seperti buah layu dengan warna pucat.
Ia berpikir
mungkinkah seseorang diam-diam telah mencuri tubuhnya dan menukarnya dengan
tubuh palsu ini. Mungkin saat itu ia tengah tertidur seperti orang mati hingga
tak menyadari apa-apa. Namun, tato seekor gagak di dada kanannya itu tidak
mungkin palsu. Tato itu satu-satunya bagian yang paling ia sukai dari dirinya,
juga bagian yang paling ia kenal.
Tidak mungkin
ada orang lain punya tato yang seratus persen sama seperti miliknya itu atau
menirunya dengan sama persis. Seekor gagak tengah mengepakkan sayapnya, seluruh
bulunya berwarna hitam pekat dengan sepasang mata tak kalah gelap. Tato yang
sudah dimilikinya sejak ia berumur enam belas tahun, setelah ia memutuskan
meninggalkan rumah dan hidup terlunta-lunta di jalanan dan di sanalah ia
bertemu dengan seseorang yang memberinya tato itu. Ia hanya bertemu satu kali
itu saja dengan lelaki itu. Setelah menorehkan tato seekor gagak di dada
kanannya, lelaki itu mencium bibirnya dan menamainya Bitsi.
Untuk lelaki
itu pula, Bitsi yang berkali-kali berpikir mau mati itu terus bertahan
hidup sampai ia bertemu Rora, perempuan penyayang yang nyaris seperti ibunya
sendiri.
Bitsi masih
memperhatikan dirinya di cermin. Apa mungkin aku sudah mati? tanyanya hampir
menangis. Di matanya terbayang-bayang foto dada kanan dengan tato seekor gagak
milik perempuan yang ditemukan mati dalam keadaan telanjang itu. Perempuan yang
bisa saja bernama Bitsi atau nama lain yang tak mengubah kebenaran kalau itu
adalah dirinya. Tapi, bagaimana aku bisa mati? bisiknya. Aku tidak mungkin sudah
mati. Ia mencubiti kulit tubuhnya. Aku tidak mungkin sudah mati, katanya lagi.
Ia sungguh
tidak ingin mati. Setidaknya hari ini. Ia ingat bagaimana Rora berjanji akan
membantunya menemukan lelaki yang memberinya tato seekor gagak di di dada
kanannya itu, yang telah mencuri rasa manis dari bibirnya, yang melekatkan
sebuah nama pada dirinya. Lelaki yang, kata Rora, pernah dilihatnya berkeliaran
di depan rumahnya sehari sebelum Bitsi tiba. Namun, sudah hampir setahun
lamanya, lelaki itu belum muncul lagi. Mungkin hari ini dia akan datang, kata
Rora setiap kali Bitsi hampir menyerah dan berpikir mau melanjutkan
pencariannya ke kota lain atau tempat-tempat yang barangkali di sana ia bisa
berjumpa lelaki itu.
Setelah lelaki
itu tidak muncul-muncul juga, Bitsi mencari kamar sewa sendiri dengan alasan
ada kalanya ia ingin menyendiri dan memikirkan lelaki itu tanpa gangguan dan
hanya datang ke tempat Rora pada jam kerja. Namun, belakangan, Rora memberinya
jam kerja yang amat panjang. Ia mesti mengiris sayuran bersama ibu-ibu yang
bekerja pada Rora, membersihkan puluhan kilo ayam potong dan sejenisnya,
mengupas bawang yang membuat matanya perih dan berair, menyiapkan bumbu-bumbu
untuk dihaluskan, mencuci alat memasak, memasukkan makanan ke dalam kotak, dan
masih banyak lagi.
Seolah-olah
dengan cara itu Rora ingin menahannya selama mungkin di rumahnya. Bitsi
tidak pernah tahu kalau hati Rora teramat sepi. Untuk itu pula Rora berbohong
tentang lelaki yang dicari-cari Bitsi. Memang benar ada banyak lelaki yang
lewat di depan rumahnya atau lelaki-lelaki yang terkadang membantunya
mengangkat sesuatu atau mengantar pesanan orang.
Rora tidak
pernah yakin lelaki seperti apa yang dicari Bitsi, meski gadis itu pernah
bilang kalau lelaki itu punya tanda lahir di kening, perawakannya tinggi kurus,
rambutnya—saat bertemu Bitsi—sebahu dan keriting, matanya merah karena ia
mengaku jarang sekali bisa tidur, dan sekarang kemungkinan sudah berumur
lima puluh tahun.
Kau menanyakan
siapa namanya? kata Rora.
Bitsi
menggeleng. Tapi, aku mengingat baunya, kata Bitsi.
Itu tidak
berguna! balas Rora ketus.
Aku tidak
menyangka hari itu dia akan pergi begitu saja, kata Bitsi, aku juga tidak
berpikir satu hari aku memerlukan namanya. Sekarang, apa yang bisa kita
lakukan, Rora? tanyanya. Meski Rora lebih pantas sebagai ibunya ketimbang
teman, Bitsi selalu memanggilnya dengan nama yang, menurut Rora, entah ia
pungut dari mana, tahu-tahu ia sudah berganti nama begitu saja dan orang-orang
melupakan nama lamanya.
Rora berhasil
meyakinkan Bitsi kalau ia pasti pernah melihat lelaki itu—juga meyakinkan
dirinya sendiri bahwa tidak mungkin ia tak pernah bertemu dengan orang itu di
antara ribuan lelaki yang pernah sengaja atau tak sengaja dilihatnya di depan
rumah atau di tempat-tempat lain yang pernah ia datangi. Pasti pernah, pikir
Rora. Pasti saja salah satu di antara mereka itu lelaki yang dicari Bitsi.
Bitsi tidak
mudah percaya kepada orang lain. Maka, ia setengah memercayai Rora, setengah
meragukannya, dan itu yang membuat hubungan mereka memburuk dari hari ke hari.
Hidup yang keras di jalanan mengajarkannya tentang itu. Apalagi lelaki yang
memberinya tato, ciuman, dan nama baginya itu, bilang: Dalam hidup ini kau
hanya perlu memercayai dirimu sendiri.
Dalam hati
Bitsi menambahkan: … dan kamu.
Kamu di mana?
Bisik Bitsi yang masih telanjang dan berdiri di depan cermin. Matanya basah. Ia
jarang menangis. Namun, kali ini, ia merasa sangat putus asa. Seorang perempuan
ditemukan mati dengan tubuh telanjang dan tato seekor gagak di dada kanannya.
Lelaki yang dicarinya tidak tahu di mana, padahal, hanya lelaki itu yang ingin
sungguh-sungguh ia percayai selain dirinya, yang barangkali akan berkata, tentu
saja kau tidak mati, Bitsi. Kau tidak mati.
Ponsel Bitsi
berbunyi. Panggilan telepon dari Rora. Bitsi tahu, hanya Rora satu-satunya
orang yang meneleponnya, sebab ia tidak memberikan nomornya pada orang lain
ketika Rora menghadiahinya ponsel itu. Namun, Bitsi telah berubah pikiran. Ia
tidak ingin mendengar suara Rora yang pasti akan bertanya: Jadi kau tidak mati
kan, Bitsi? Itu bukan kau? Mana mungkin itu kau.
Bitsi
meninggalkan cermin. Matanya masih basah. Kulitnya juga basah—dan lengket. Ia
menuju tempat tidur dan telentang di atasnya. Hatinya tiba-tiba sangat sunyi.
Ia teringat ketika kecil ibunya mencekal pergelangan tangannya saat mereka
bepergian ke pasar atau ke tempat keramaian. Ia teringat ayahnya yang pernah
menghadiahinya seekor anak ikan koi dan satu hari ikan itu mati dan ia menangis
seharian memeluk stoples kaca berisi air tempat ikan itu biasanya berenang. Ia
teringat kakak-kakaknya yang sering menjahilinya dan sekarang ia rindukan.
Semua itu
sudah menjadi masa lalu ketika Bitsi pergi dari rumah setelah bertengkar
hebat dengan ayahnya yang baik hati tapi pemarah. Bitsi berpikir satu
hari ingin kembali ke kotanya dan pulang kepada keluarganya itu, tapi ia tidak
bisa melakukannya sebelum bertemu dengan lelaki yang memberinya tato, ciuman,
dan sebuah nama. Namun, kini, semuanya sudah selesai. Barangkali ia benar-benar
sudah mati. Atau kalaupun perempuan telanjang dan bertato seekor gagak di dada
kanannya itu bukan dirinya, ia tetap saja berpikir kalau itu dirinya dan
pikiran itu akan terus menghantuinya sepanjang hidupnya.
Aku sudah
mati, kata Bitsi. Air matanya meleleh. Membasahi anak rambutnya dan cuping
telinga.
Rora kembali
menelepon. Ia pasti sangat kebingungan. Ia pernah kehilangan anak perempuan.
Mati ditabrak bus ketika ia menyeberang jalan menuju sekolahnya. Kejadian itu
terus mengganggu pikiran Rora hingga puluhan tahun ini. Rora yang selalu bilang
kepada Bitsi, Jangan pernah mati. Rora yang sekarang mungkin saja bolak-balik
ke kamar mandi dan muntah sampai perutnya kosong dan kerongkongannya kering dan
sakit.
Mata
Bitsi pelan-pelan mengatup. Ia membayangkan lagi masa kecilnya bersama keluarga,
tawanya yang lebar, dan teman-teman seusianya yang memanggil namanya dan
mengajak bermain bersama. Lalu ingatannya melompat ke satu hari saat ia bertemu
dengan lelaki yang membuat tato seekor gagak di dada kanannya, yang menyesap
rasa manis di bibirnya, dan Rora mengirim pesan, jangan mati, dan lelaki itu
berbisik, Bitsi.
Rumah Kinoli,
2020
Yetti AKA, tinggal di
Kota Padang. Buku kumcer terbarunya, Ketua Klub Gosip dan Anggota
Kongsi Kematian (2020).
Didit Sudianto lahir di
Jember 1963 dan kini menetap di Bandung. Berkesenian sejak sekolah dasar.
Belajar jarak jauh melukis dengan gaya realis klasik dengan teknik Flemish
tahun 2003 dari Alexei Antonov, pelukis Rusia yangg tinggal di Amerika. Pameran
karya lukis di beberapa kota di dalam negeri (Jakarta, Jawa Barat, Bali).
Tidak ada komentar