oleh Putu Oka Sukanta
Mbak Narti berulang tahun yang ke-75, dan saya datang ke
rumahnya. Setelah mencium pipinya kanan kiri, ia menyeret tangan saya.
“Sampeyan harus berkenalan dengan keponakan baru, Wani.”
Kemudian
Wani yang duduk di kursi sambil mengunyah kerupuk berdiri dan mengulurkan
tangannya
“Betha.”
Suaranya tidak mulus karena masih ada sisa kerupuk di mulutnya. Ia berdiri
menatap saya. “Terima kasih Om sudah mau berkenalan dengan saya. Tante Narti
bilang, harus berkenalan dengan Om.”
“Kenapa?”
“Tante
Narti bilang, seru deh.”
Narti
seorang perempuan yang tidak mau bersuami, katanya, lelaki belum tentu setuju
dengan pikiran-pikirannya apalagi ia eks tahanan.
“Betha,
itu nama panggilan saya,” lebih lanjut kata perempuan yang rambutnya digerai
dengan beberapa helai ubannya. Ia murah senyum, dengan bibir dilipstik tebal
dan rapi, giginya tampak bersih dibingkai oleh senyum. Betha sama sekali tidak
canggung sebagai orang baru berkenalan.
“Nama
sering membuat saya merenung, terkait dengan perjalanan hidup saya. Dari nama
yang diberikan kepada saya saja, tersimpan sejarah hidup saya. Betha, diambil
dari kata Ellysabeth. Sebelum saya diberi nama Ellysabeth, saya dipanggil
dengan sebutan Wani, lengkapnya Mardikawani. Nama ayah saya Sutoyo.
Teman-temannya menambahkan kata Kiwo, jadi Sutoyo Kiwo, karena tangan kirinya
lebih aktif daripada tangan kanannya. Tapi nama ayah saya dihilangkan, diganti
dengan kata Wuryantiko, nama seorang pastor yang melekat di dokumen-dokumen
saya. Papa Tiko, begitu saya memanggilnya, timbul tenggelam dalam kehidupan
saya. Ia sayang kepada saya. Tapi ada tembok pembatas yang tidak bisa
dihancurkan oleh kasih sayang yang saya terima. Pada nama Mardikawani, tersirat
nama ibu saya Mardiani, tetapi karena saya lahir pada tanggal 17 Agustus, maka
nama saya dilenturkan menjadi Mardikawani. Saya bahagia dengan nama itu, tetapi
saya harus menyimpannya, menyembunyikannya.”
Wani bertutur seperti membaca sebuah teks pidato yang sudah
dipersiapkannya dengan cermat. Saya menduga, Narti sudah menceritakan diri saya
yang suka nguping dan
menyimpan tuturan orang, kepada Wani. Kemudian ia meneruskan tuturnya, “Nama
itu justru menyulap saya menjadi manusia yang penuh beban. Beban itu tidak
pernah saya ceritakan kepada siapa pun, kecuali Om, di saat saya menjelang
berumur 60 tahun. Saya berharap beban ini akan berkurang sedikit
perlahan-lahan, sesudah saya berani mengungkapkannya.”
“Ngapain beban dipikul
terus sepanjang hidup. Kibaskan, bagi kepada teman yang mau ikut memikul.” Saya nyeletuk tanpa pikir.
“Tidak
mudah Om.” Ia menunduk, saya diam.
Saya
tidak memotong ceritanya, ia mengajak saya ke pojok ruangan yang lebih sepi.
Suaranya lirih tapi jelas, dengan kalimat yang runtun.
“Jadi
aku panggil Wani atau Betha?”
“Terserah
Om, asal Om nyaman.”
“Ya
Wani.” Saya setengah berbisik.
“Saya
tidak ingat dengan wajah ayah saya, walaupun belakangan saya mendapatkan dan
menyimpan fotonya. Ingatan saya hanya sepotong tentang ayah, ketika saya
bertanya kepada ibu, ‘Bapak kok tidak pulang Bu? Mungkin tugasnya belum
selesai. Banten jauh dari sini.’ Ibu menjelaskan bahwa Bapak yang pegawai
kereta api, sering bertugas di daerah Banten, sehingga sering menginap beberapa
hari di sana Kemudian saya tidak pernah bertanya lagi. Tapi pada suatu hari saya
melihat beberapa teman Ibu datang ke rumah bergantian. Entah apa yang
dibicarakannya, saya tidak mengerti. Tapi Bapak belum juga pulang.” Ia mengusap
ludah di pojok bibirnya. Tampak bekas lipstik di tisunya.
“Ibu
masih mengajar di sekolah taman kanak-kanak. Saya terkadang ikut. Tapi pada
suatu hari Ibu mengatakan pergi ke kantor, dan saya dititipkan di rumah Bude
Sari tetangga kami. Saya sudah biasa bermain di rumah Bude Sari, karena ada
teman bermain Nita, anaknya. Saya tidak banyak ingat dengan keluarga ini,
walaupun kata Ibu di kemudian hari, saya sempat menginap beberapa hari di rumah
Bude Sari, karena Ibu tidak pulang. Suatu hari, saya ingat benar kejadian ini,
Bude Sari menyuruh saya mandi dan sarapan pagi-pagi. Saking paginya, saya masih
tidur dibangunkannya. Saya disuruh membawa pakaian salin, yang juga sudah
disiapkan oleh Bude Sari.”
“Bude,
kita mau ke mana? Nita ikut Bude?”
“Kita
nengok ibumu. Nita tidak usah ikut.”
Kami
naik becak sampai di sebuah kantor yang besar, pintu depannya dijaga oleh tentara.
Bude Sari menuju tempat mendaftar, dan bapak tentara bertanya siapa nama saya.
Saya menjawab langsung, Wani.
“Siapa?”
“Wani.”
“Ooo,
Wani, Gerwani ya?”
“Wani.”
“Ooo
perempuan berani ya?”
Saya
tidak mengerti. Saya menunduk, takut. Tentara itu mengantar kami masuk ke dalam
gedung dan bertemu Ibu. Ibu memeluk saya dan mengusap air matanya. Sejak hari
itu saya bersama Ibu tinggal di dalam gedung itu. Juga ada ibu yang lain.
Tentara yang tanya nama saya sering datang menengok dan memanggil saya dengan
panggilan Gerwani. Ia selalu senyum. Ibu sering dipanggil tentara, tidak tabu
dibawa ke mana. Ibu selalu berpesan, “Tunggu Ibu, jangan menangis.” Saya hanya
duduk, tetapi terkadang sampai tertidur. Saya tidak tahu berapa lama saya
bersama Ibu di gedung besar yang dijaga banyak tentara itu. Wani menelan
ludahnya, sekejap saja suaranya berderai lagi.
Suatu
hari, sesudah makan nasi besek, (begitu disebut Ibu) saya naik mobil bersama
beberapa Ibu lainnya. Saya senang karena pergi dari tentara yang menakutkan,
walau tidak tabu akan dibawa ke mana. Akhirnya mobil masuk ke dalam halaman
rumah yang lebih besar lagi. Ibu-ibu berbaris, masuk satu per satu sesudah
namanya dipanggil. Nama saya tidak terdengar. Ibu terus menuntun tangan saya.
Akhirnya saya tahu, tempat ini adalah penjara. Banyak ibu-ibu, tante-tante dan
mbak yang tinggal di penjara ini. Mereka suka ngajak saya main ke kamarnya.
Saya ingat ada tante dari gedung sebelah yang sering memberi makanan. Kata Ibu,
ia itu tahanan kriminal yang baik hati. Saya tidak paham perkataan Ibu. Di
tempat ini, teman-teman Ibu dan petugas yang perempuan dan laki-laki. memanggil
saya dengan nama Wani. Saya senang.
Saya
disulap Wani menjadi patung selama mendengarkan ceritanya. Matanya
berkedip-kedip sayup, bibirnya merekah. Tiba-tiba ia menyadarkan saya, “Yuk Om
ke sana, nanti dikira kita pacaran di sini.”
Ia
menyambung langsung gaungan lagu Selamat Ulang Tahun yang sudah dinyanyikan
oleh teman-teman Narti. Kemudian dia menjauh dari saya dan bergabung dengan
ibu-ibu lainnya. Saya khawatir tidak bisa lagi mendengarkan kelanjutan
ceritanya. Mata saya tidak pernah melepaskannya. Tiba-tiba ia mendekati saya
dan bertanya, “Om mau makan apa? Ada pepes gurameh, tumis daun papaya, ayam
rica, sop buntut. Saya ambilkan mau?”
“Jangan.
Aku mengambil sendiri, pasti enak tumis daun pepayanya.” Dia menyelinap di
antara banyak orang dan tidak kelihatan lagi.
Mudah-mudahan
tidak langsung pulang.
Selesai
makan, saya duduk kembali di tempat semula. Wani tidak tampak, saya gelisah.
Beberapa orang menyanyi, dan tiba-tiba Wani datang membawa dua cangkir.
“Om
cendol Bandung.” Kegundahan saya mereda.
“Duduk
Wani.”
Ia
sibuk mengaduk dan minum es cendolnya. “Boleh aku mendengar cerita Wani lebih
lanjut.”
“Ah
cerita basi, apa serunya?”
“Wani
datang dengan keluarga?”
“Single fighter, Om.” Ia tertawa
lepas.
“Kenapa?”
“Suami
lebih sering menambah beban.”
“Tapi
pernah pacaran kan?”
“Ah
mau tahu saja. Pernah gonta-ganti Om. Takut pacarku tahu siapa aku. Jadi lebih
ringan sendiri, kan aku bisa membiayai hidup sendiri.”
“Sempat
bekerja di mana?”
“Tuhan
melindungi saya, saya bekerja di penerbangan asing dan tidak pernah diganggu.”
“Tidak
pernah di-Litsus?”
“Litsus
itu yang diperiksa-periksa gituan ya Om?”
“Ya.
Penelitian Khusus. Mengikuti berbagai wawancara.”
“Puji
Tuhan, selamat. Kan sejarahku sudah disulap. Walaupun begitu, saya sempat panas
dingin sebelum diwawancara Bali kan tiba-tiba saya menstruasi yang belum pada
waktunya. Ya lemas, ya tegang.” Wajahnya mengkerut, garis senyumnya membayang
terang.
“Ooo, menarik seru. Ceritain dong Wani
kelanjutannya.”
Wani
tidak segera menjawab, ia meneruskan minum es cendolnya. Lahap. Saya
menunggunya.
“Singkatnya
Om. Saya diambil dari penjara oleh keluarga gereja, dan Ibu dipindahkan ke
Pelantungan.
Saya
tinggal di asrama, tapi kalau liburan ke rumah Ibu angkat saya. Saya
dipermandikan, diberi nama Ellysabeth, bla, bla, bla. Sudah ya Om, aku mau
pulang. Rumahku jauh, pakai kendaraan umum.”
“Makasih
Wani.” Jalannya cepat menyelinap di antara ibu-ibu yang aku tahu pernah ditahan
di penjara, ia mencium pipi perempuan-perempuan itu, ber-haha hihi, tampak
lepas riang.
Ketika
ia lewat di depanku, ia mengulurkan tangannya, ia menggamit tanganku
mengajaknya ke luar, ke halaman rumah, “Om kalau ada berita pembongkaran
kuburan massal di Banten, beri tahu aku ya.”
“Nomer
kontakmu mana?”
“Tanya
tante Narti.”
Putu Oka Sukanta,
lahir di Singaraja, Bali, tahun 1939, sekarang tinggal di Jakarta. Ia menulis puisi,
cerpen. dan novel. Beberapa buku kumpulan puisi, kumpulan cerpen dan novel
sudah terbit, dan sudah diterjemahkan ke beberapa bahasa asing. Novel
terbarunya berjudul Celah.
Butet Kartaredjasa.
Lahir di Yogyakarta 21 November 1961, lebih dikenal sebagai aktor teater,
tv-play dan film. Mengelompok di Teater Gandrik Yogya sebagai aktor dan
praktisi manajemen seni. Meski begitu, sejatinya, Butet adalah penulis dan
pelukis. Kini. selain tetap berteater, ia juga menggeluti seni visual.
Tidak ada komentar