Puisi Rifki Syarani Fachry
Ironin to
bulan terbelah. remuk di angin
jadi tepung di kering jalan
batu yang dilempar patung-patung ke tawang langit
tak mengenai apa pun yang sisa
hanya melengkung dan jatuh juga di sana
: arah yang tak terketahui ujungnya
Bulan separuh mengapung
separuh bulan tepung
aku adalah amsal sekedar
sisa gema tak terdengar malam
seperti kehilangan semuanya
separuh bulan tertutup
bulan separuhnya telanjang
bulan separuhnya mengapung
separuh bulan hilang
2019-2020
Memudar
dengarkan ini
ketika angin berhenti
langkah-langkah debu
orang-orang rapuh
ke belakang
bayanganmu
setelah berulangkali
merasa sendiri
lalu ketika udara
beku
tanya bayanganmu
hidup macam apa
yang akan ia pilih
jika muda dan terkikis
adalah masa depan
2020
Tak Ada Pelukan yang Pantas Kumiliki
sebelum tuhan membelah dada ini
menyimpan diri sendiri ke dalamnya
menjahit kembali dadaku tanpa bekas dan nyeri
sebelum itu, dosa di tubuhku mayat
aku telah menerima kutukan
menerima dosa seperti pelukan
bertahun-tahun merawat azab
melindungi diri dari pahala dan surga
aku kehilangan kesempatan untuk doa
tapi kini, tuhan bersama peluk
rebah kepala
2020
Inori
I
tuhan, sisakan satu
neraka untuk puisi-puisiku
II
tuhan, aku tak ingin melupakan apa pun
aku hanya ingin tak pernah ada
2019-2020
Rifki Syarani Fachry, penyaira dan perupa kelahiran Ciamis. Buku puisi pertamanya Hantu adalah Kenangan (Kentja Press 2018). Kini sedang menempuh pendidikan Magister di Universitas Indonesia.*
Puisi Adhimas Prasetyo
Perihal Pulang
gelap datang untuk kesekian kali.
ia selalu suka merebah pada pangkuanmu
ketika kau mengaso di teras.
adakah pangkuan itu masih sehangat seperti
dahulu.
sementara di teras, masih di teras yang sama,
sepotong muka pintu telah lupa akan bunyi ketukan.
lagipula, telah berapa lama kau biarkan pintu itu
tak lagi terkunci.
gelap telah datang pada Mei kesekian.
sedangkan selama ini kau selalu keliru
membedakan makna antara kesetiaan
dan keputus-asaan.
2019
Perihal Kekalahan
beginilah adanya, kini sajak ini tinggal
kata-kata ripuh dan rapuh dengan makna
yang tak lagi utuh.
ketika kau membaca, kau hanya dengar
suaramu meracau tentang huruf-huruf
yang bukan apa-apa.
sajak ini begitu iri kepada sajak-sajak lain,
kepada sajak yang mengetahui
apa yang sedang diperjuangkannya.
jauh di luar sajak, seorang penyair kekal
dalam kekalahannya sendiri.
tak ada satu pun kabar baik dalam sajak ini,
kecuali kau bisa melupakannya sesegera mungkin.
2019
Membaca Senyum Koyuki
aku ingin menjadi tua
dan mati dengan mengubur
sebuah mimpi.
aku ingin menjadi derita
yang tersimpan rapi
dalam almari sunyi.
aku ingin bereinkarnasi
menjadi sepotong pagi
yang mengecup keningmu setiap hari.
aku ingin menjadi surga
bagi kealpaan semua orang.
aku ingin menjadi segaris bibir
yang selalu bisa membohongi
diri sendiri.
2019
Adhimas Prasetyo, penulis. Karya-karyanya telah dimuat di beberapa media lokal dan nasional, baik cetak maupun daring. Saat ini bergiat di Buruan.co. Buku puisi pertamanya adalah Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (Penerbit Buruan, 2020).
Tidak ada komentar