HUJAN masih meradang dan batang kakiku terus berlari. Reranting
menghalangi mataku. Bonggol kayu membuatku mesti melompat tiap saat. Dan,
kadang kala menjegalku hingga berguling-guling mencium rupa tanah. Aku juga
berhadapan dengan putri malu yang gemar menyayat telapak kakiku. Meski begitu,
aku harus tetap berlari bila tidak ingin dibunuh oleh sebelas orang berjubah
hitam yang sebagian membawa sebilah samurai.
Seandainya saja sore itu aku
tidak ketahuan, pastilah kejadiannya tidak akan seperti ini. Hal yang
kusesalkan adalah aku batal menemani Sulhaini berbelanja kalung emas. Padahal,
ia memimpikan memilikinya berbulan-bulan lampau. Oleh sebab itu, aku merasa
gagal menjadi suami yang baik dan rumah tanggaku dengannya terancam.
Malam kian pekat dan aku masih
terus berlari. Hujan turun kian deras. Kesiur dedaun terdengar bising. Di
depanku terdapat sebatang pohon raksasa. Lekas-lekas, aku mendekat, lalu
bersembunyi di balik pohon itu. Rerimbun belukar kurasa cukup lebat untuk
menutupi seluruh anggota tubuhku. Meski harus menahan dingin, siapa peduli?
Paling tidak, sebelas orang yang hendak
membunuhku itu berhasil kukelabuhi. Kemudian, aku dapat mengendap-endap
berbalik arah, menuju rumah. Dan, mulai memikirkan bagaimana caranya menebus
janji membelikan kalung buat Sulhaini.
***
Agama baru mulai populer di
kampungku sejak seorang kakek—yang entah datang dari mana—mengaku memiliki
sebatang pohon raksasa yang dapat mengabulkan seluruh permintaan. Mulanya,
orang-orang tidak peduli. Justru, menganggap kakek berjubah hitam itu menganut
aliran sesat. Tidak sedikit dari mereka yang bermaksud membunuhnya. Itu
dipikirkan ketika gagal mengusirnya. Namun, satu per satu penduduk mulai
terhasut oleh keinginan dalam sebatang pohon itu.
“Kemiskinan yang menderamu bakal
lenyap ketika kaumenyembah pohon ini,” hasut Kakek pada Mulkhan, salah seorang
penduduk kampung. “Cobalah! Dan, jangan salahkan aku bila kau mati konyol
karena kelaparan.”
“Tetapi, agama melarangku
berbuat sirik.”
“Agamamu hanya memberimu
kesia-siaan belaka. Sungguh, agama apa yang dapat mengabulkan sejibun
keinginan?” balas Kakek itu.
Aku mendegar percakapan mereka
dari balik pohon jati ketika bermaksud mencari kayu di hutan. Mulkhan tampak
gamang. Sepasang matanya menjurus ke pohon raksasa yang dibalut oleh beberapa potongan
kain. Kain-kain warna merah, putih, dan hitam. Di antara kain-kain itu,
tertulis selarik aksara yang tidak kupahami maknanya. Barangkai, sebagai
penyucian. Atau, entahlah apa itu.
“Apa benar bahwa sebatang pohon
ini dapat mengabulkan permintaan?”
Kakek berjubah hitam menepuk
bahu Mulkhan. Matanya menatap lekat pada mata lelaki pencari kayu bakar itu.
Bibir Kakek tersenyum, membentuk sabit.
“Berdoalah! Ucapkan
permintaanmu dan bila perlu, akan kutulis permintaanmu pada sebentang kain
putih itu,” jawab Si Kakek, menunjuk ke arah kain paling lebar.
Dengan gemetar, Mulkhan melaksanakan
perintah Kakek tanpa nama tersebut.
***
Konon, seminggu setelah
kejadian tersebut, Mulkhan mengaku kaya raya. Ia bahkan membeli sepetak sawah
milik Harun. Juga mulai membangun kandang kambing. Empat ekor ia beli dari
peternak di kampung seberang. Motornya juga baru dan istrinya merias seluruh
tubuhnya pakai emas dan perak. Dan, setelah mengakuan itu diutarakan Mulkhan
pada kawan-kawannya, mulailah satu per satu penduduk kampung pindah agama.
Sejujurnya, aku mulai berang
lantaran sebagian penduduk terhasut oleh tipu daya iblis. Bagiku, itu merupakan
perbuatan sirik. Ah, tidak lagi sirik. Mereka terang-terangan mengaku pindah
agama dan membaptis sebagai penyembah pohon. Sebagian dari mereka bahkan
membujukku dengan iming-imingan kekayaan.
“Apabila kaumengikuti ajaran kami,
istrimu tidak akan lagi merajuk minta dibelikan kalung,” ucap Mulkhan padaku di
malam yang dingin.
“Tapi, agamaku tidak
membenarkan hal itu,” sanggahku.
“Persetan dengan agama yang
kauanut. Asal kau tahu saja bahwa agama yang
dulu kuanut tidak memberiku apa-apa. Ah, keyakinan macam apa itu?”
Aku bungkam. Kata-kata yang
hendak kukeluarkan seperti kembali tertelan. Tidak dapat kubayangkan,
seandainya seluruh penduduk kampung beralih menyembah pohon. Pasti Tuhan akan
murka dan bencana maha besar siap melanda kampung ini. Untuk itu, sesuatu
terbesit di kepalaku. Biar bagaimanapun, aku merasa harus menebang pohon itu.
Dan, bila perlu, sekalian kubunuh Kakek berlagak nabi itu. Aku membayangkan
hidup di zaman Jahiliyah dan perintah jihad seketika muncul dalam tempurungku.
***
Sulhaini
kembali merajuk, minta dibelikan kalung ketika penjualan kayu bakarku tengah menurun. Mulkhan berkali-kali menawariku ikut ke
jalannya yang sudah jelas-jelas kuyakini sesat itu. Hampir saja aku
hanyut, termakan hasutannya ketika istriku pergi dari rumah dan belum kembali selama
tiga hari. Apakah ia kawin lagi?
“Tentu saja Sulhaini muak
denganmu dan barangkali ia sedang cari lelaki lain,” ucap Harun padaku yang tanpa sengaja kutemui di hutan.
Mulkhan berada di sebelahnya dengan mengenakan jubah hitam. “Kusarankan
supaya kau ikuti bersama kami.”
“Tapi, agamaku tidak
membenarkan hal itu.”
Tanpa kuduga, tiba-tiba Mulkhan
mendorong tubuhku sekuat-kuatnya, hingga aku tertumus di atas rerumput dan
semak belukar.
“Hei, kau Jangan sok suci! Kita
tinggal di pelosok dan persetan dengan agama yang kauanut. Apakah Tuhanmu
memberimu makan? Apa Tuhanmu sudi mencegah kepergian Sulhaini darimu? Kita
hidup di kampung dekat hutan yang jaraknya ke kota berkilo-kilo meter.
Semestinya, kau mau menerima keadaan ini, lalu memutuskan bergabung bersama
kami. Bukankah itu lebih mudah?” geram Mulkhan.
“Seratus penduduk kampung telah
pindah agama. Mereka memuja dan menyucikan pohon agung. Hanya kau seorang dan
beberapa penduduk yang jauh dari pemukiman ini yang enggah beralih keyakinan,”
imbuh Harun, menguatkan pendapat Mulkhan.
“Apakah sebatang pohon itu
dapat berbicara pada kalian?”
“Apakah Tuhanmu sudi mendengar
rintihanmu?” celetuk Harun.
“Aku percaya bahwa Kakek itu
merupakan seorang Nabi. Ia tidak melarang kami meneguk tuak dan menyetubuhi seorang janda,” sahut Mulkhan, masih dengan
nada tinggi. “Kami memimpikan kebebasan. Aku dan Harun tidak menyukai
larangan dalam bentuk apa pun. Kemiskinan sudah cukup memasung kami.”
“Persetan dengan agama yang
kauanut!” tandas Harun.
“Agamaku turun lebih dulu dari
keyakinanmu,” belaku, menunjuk dua orang yang kuanggap sinting itu.
“Bahkan, usia pohon ini jauh
lebih tua darimu,” sambung Mulkhan.
Aku sakit hati dengan perlakuan
mereka padaku. Caci maki mereka padaku dan juga pada agamaku, ditambah pula
kepergian Sulhaini yang entah ke mana, sukses membuat api dalam dadaku menyala.
Kupikir, tiada cara yang ampuh untuk menyadarkan mereka, selain menebang pohon
iblis itu dan membunuh Kakek yang mengaku Nabi.
***
Pada malam yang kurencanakan, aku
mengendap-endap menuju hutan. Gumpalan awan tampak tebal dan gelap. Semenit
berlalu, hujan akhirnya turun membasuh cemas wajahku. Sebilah kapak tajam
bergetar. Peluh yang keluar dari lorong kulitku terbias hujan. Jarakku dengan
pohon raksasa tinggal sehasta. Seorang lelaki paruh baya kudapati sedang bersila
di bawahnya. Mungkin, sedang bertapa. Atau, entahlah.
Kupikir, hanya ada aku dan
iblis berwujud kakek itu di sini. Maka, disertai gemetar di tangan, kuayunkan
sebilah kapak itu tepat ke leher nabi gadungan. Kapak itu membuat kepala Kakek terpelanting dan berguling-guling di
tanah. Darah segar mengucur di lehernya dan seketika tubuhnya ambruk.
“Katakanlah, apa yang dapat
dilakukan oleh sebatang pohon itu ketika melihatmu sekarat,” sahutku, pongah
dan berkacak pinggang.
Akan tetapi, dugaanku bahwa di
hutan ini hanya ada aku dan Kakek yang telah mampus itu keliru. Gerombolan
orang meneriakiku disertai hujatan kemurkaan. Sebelas orang berjubah hitam
muncul dari balik semak belukar. Mereka mengambil batu, dahan, dan sebagian
menggenggam samurai. Dan, tanpa berpikir panjang, aku berlari dan mereka
mengejarku. Dalam situasi seperti ini, aku berdoa. Semoga, Tuhan yang kuyakini
sebenar-benarnya Tuhan itu, sudi menolongku.
Di saat
aku berlari mengitari hutan dan kembali bersembunyi di balik pohon, tiba-tiba
pohon itu tumbang dan setelahnya, aku tidak tahu apa yang terjadi. ***
/Madiun, 2019
(*)
Hendy Pratama,
lahir pada 3 November 1995 di Madiun.
Bergiat di komunitas sastra Langit Malam dan FPM IAIN
Ponorogo.
Heliofilia adalah buku kumpulan cerpennya yang akan
terbit.
How do I make money from playing games and earning
BalasHapusThese are the three most popular forms of gambling, and งานออนไลน์ are explained in a very concise and concise 바카라 사이트 manner. The most common https://vannienailor4166blog.blogspot.com/ forms of https://septcasino.com/review/merit-casino/ gambling are: worrione