Karya Joko Suharbowo
Lebih dari dua puluh tahun lalu, di tengah sesak napas karena gas air mata,
Basau jeri melihat kepala temannya bocor dihantam pentungan oleh petugas. Sang
teman sempat bingung karena ada sesuatu yang menetes. Lalu mengerang dalam
takut sekaligus sakit setelah sadar bahwa yang menetes berwarna merah dan
berasal dari kepalanya sendiri.
Wajah kesakitan serta teriak meminta ampun itu masih terekam dengan jelas
di kepala Basau. Tersemai dengan sendirinya bersama setiap tetesan darah yang
jatuh.
Saat itu semua keberanian yang dipupuk sejak berminggu-minggu sebelumnya
perlahan melemah. Lalu runtuh seutuhnya saat sang teman terus digebuk dan
ditendang meskipun ia tak melawan sama sekali. Atau justru karena ia tak
melawan?
Massa mulai berpencar. Tercerai-berai tak karuan arah. Sebagian merangsek
maju. Melemparkan segala batu dan benda-benda lain ke arah petugas. Sebagian
sisanya berlari mencari tempat sembunyi. Sempat ada rasa bingung di hati Basau:
menolong teman yang digebuki atau ikut yang lain untuk berlari. Basau tak tahu.
Satu hal yang ia tahu ketika itu: bahaya mengancam. Petugas-petugas yang lain
menunjuk-nunjuk ke arahnya.
Sebisa mungkin Basau berlari. Sekencang-kencangnya. Beberapa kali ia
terpeleset dan terjerembab. Beruntung para aparat tertahan oleh banyaknya orang
yang lintang pukang. Pelipis kiri Basau berdarah, kakinya luka, dan rusuknya
mungkin patah karena bertabrakan dan terinjak-injak, tapi nasibnya lebih baik.
Ia bisa selamat dan menjauh dari pusat kerusuhan.
Sebulan setelah kejadian tersebut, Basau mendapat kabar bahwa temannya di
barisan depan menghilang, mungkin diculik. Sementara, petugas masih mencari
teman-teman terdekatnya serta orang lain yang dicurigai. Tahu bahwa dirinya
masuk dalam radar, Basau meninggalkan ibu kota. Pindah ke pulau seberang.
Bertahun-tahun setelahnya, Basau masih tinggal di tempat persembunyian. Di
sebuah desa yang benar-benar jauh dari mana-mana, berbaur dan menjadi bagian
warga transmigran. Dalam masa-masa sulit, sering kali Basau menyesali diri.
Menganggap bahwa kata-kata ayahnya dulu benar belaka. Tapi darah muda
mengguyurnya dengan amarah, membalas dengan berkata bahwa ayah terlalu naif
serta pengecut dan tak mau peduli pada nasib bangsa.
Memang pada akhirnya Basau mulai kerasan. Di tempatnya sembunyi ada banyak
pohon. Udara sejuk. Waktu bisa dinikmati dengan hanya bernapas. Betul. Ia tidak
berlebihan. Karena bernapas di sana, terutama saat matahari baru akan terbit,
memberikan rasa lega yang luar biasa. Tak pernah bisa ia dapatkan saat dulu
masih tinggal di ibu kota. Bukan hanya itu, ia kemudian menikahi seorang gadis
dan mendapatkan seorang anak. Sebuah penghiburan yang tak terbayangkan
menyenangkan.
Hanya saja, di momen-momen tertentu, misalnya ketika ia menganggap
kunang-kunang di tepi hutan sawah serupa dengan lampu-lampu di jalan raya yang
dulu akrab dengannya, Basau tak bisa tidak ingat dengan kehidupan lama. Tentu,
selama bertahun-tahun itu, ada keinginan Basau untuk kembali ke kota asalnya,
tapi semua harus ditekan. Ia tak yakin teman-temannya masih di tempat yang
sama. Jika pun ia bertemu dengan satu saja teman semasa masih muda dulu, ia tak
bisa membayangkan dirinya harus mengaku sebagai seorang yang begitu saja
meninggalkan sesuatu yang pernah mereka sebut sebagai perjuangan para pemuda.
Tidak. Ia tak akan sanggup menceritakan kekalahannya.
Kekalahannya di masa lalu membuat Basau menutup rapat-rapat segala cerita
yang terkait, bahkan dengan anak dan istri sendiri. Istrinya bisa mengerti. Tak
banyak menuntut dan bertanya. Sebab mungkin ada luka yang masih menganga. Tapi
tidak dengan sang anak. Ia tak pernah puas dengan hanya mendapatkan jawaban
berupa sebuah nama kota tempat ayahnya berasal. Ia ingin tahu lebih dari itu.
Keingintahuan yang tumbuh bersama dirinya. Dari hari ke hari. Dari tahun ke
tahun. Hingga akhirnya menerbitkan sesuatu yang mendekati obsesi.
Basau sendiri menandai tumbuhnya obsesi sang anak muncul di saat yang sama
dengan terbangunnya sebuah pabrik yang berjarak delapan kilometer dari
rumahnya. Ia juga mendapati ada beberapa persamaan antara anaknya dengan pabrik
itu. Misalnya dalam hal keras kepala. Warga desa pernah melakukan protes ke
berbagai pihak terkait, tapi rupanya bangunan itu tetap berdiri juga. Anak
Basau sendiri rupanya tak mau kalah. Selama proses pembangunan pabrik, ia
berdiri di depan pagar proyek. Tak hendak beranjak. Sesuatu yang kemudian
diikuti oleh warga lain dan mendapatkan sorotan. Pembangunan pabrik sempat
terhenti, tapi hanya sebentar sebab mereka telah mengantongi izin resmi.
Sejak kejadian itu, anak Basau menemukan bahwa ada hal yang tidak disukai
dari ayahnya. Sebabnya jelas, Basau tak pernah mau ikut melakukan unjuk rasa
dan hal yang sejenis. Bagi anak Basau, itu memalukan, naif, dan pengecut.
Saat sang anak beranjak remaja, Basau menemukan bahwa pemuda itu mulai
gemar mengebulkan asap dari mulutnya: kesamaan kedua dengan pabrik tersebut.
Bahkan, saat pihak pabrik kemudian melakukan pembakaran lahan untuk memperluas
daerah perkebunan yang ada di bawah nama mereka–asap pembakaran begitu
pekat–anak Basau tetap merasa perlu membeli batangan tembakau untuk menambah
variasi aroma asap.
Basau sendiri tidak melarang anaknya mengisap asap. Sebab ia dulu juga
begitu. Ia berhenti sebab aroma tembakau mengingatkannya pada seorang teman
yang menghilang diculik aparat. Dulu, temannya itulah satu-satunya orang yang
mampu mengimbangi Basau dalam hal mengisap dan mengebulkan asap. Hanya saja,
asap yang dikebulkan oleh pabrik serta pembakaran lahan itu sudah berlebihan.
”Tak perlu kau tambahi lagi. Asap dari pabrik sudah cukup,” ucap Basau pada
anaknya di suatu pagi.
“Kita selalu merasa cukup, Pak. Tapi pabrik itu tidak pernah. Aku cuma
membiasakan diri dengan asap. Lagi pula, asapku ini adalah asap perlawanan
terhadap asap mereka.”
Basau tersenyum. Anaknya kurang ajar. Sama seperti dia di masa muda.
Di hari anaknya pergi ke kota untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi, Basau mendapati kenyataan baru. Ia kehilangan udara pagi yang begitu
menyejukkan dan menyenangkan sejak kedatangan pabrik. Ia juga kehilangan
anaknya yang pergi ke kota tempat ia dulu berasal. Anak itu, mungkin sama
seperti pabrik, begitu obsesif. Anaknya obsesif membuka masa lalu sang ayah.
Pabrik di desa obsesif membuka lahan baru.
Saat musim pembakaran lahan dan napas semakin sesak, Basau mendapatkan
telepon dari anaknya di kota.
”Aku sudah tahu ayah dulu tukang demo.” Kalimat itu dilontarkan sebagai
pembuka yang kemudian dilanjutkan dengan, ”Tenang, Yah. Nama ayah tidak busuk
sebagai seorang pelarian seperti yang ayah khawatirkan.”
Basau hanya menjawabnya dengan terbatuk. Batuknya lebih keras saat sang
anak melanjutkan, ”Teman ayah, ia juga lari sebagai buronan dan tidak diculik oleh
aparat seperti kabar yang beredar. Anaknya sekarang jadi temanku. Kami
sama-sama sering maju aksi. Seperti kalian di masa muda.”
Di saat itu, ketimbang penasaran dengan nasib temannya, Basau lebih ingin
menceramahi anaknya. Mengatakan bahwa ia harus menghindari
kesalahan-kesalahannya di masa muda. Tapi ia tahu, hal itu hanya akan disangkal
oleh si anak. Seperti ia dulu menyangkal ayahnya.
”Besok kami akan aksi lagi. Menuntut adanya aturan tentang pembakaran lahan
oleh pabrik. Aku tahu asap di sana sudah semakin parah. Batuk ayah juga makin
payah.”
Anak Basau mematikan sambungan telepon.
Telepon berdering, tapi tak kunjung diangkat. Anak Basau terlalu sibuk.
Matanya perih karena gas air mata. Tak hanya itu, ia merasa takut sekaligus
sakit ketika sadar bahwa ada sesuatu yang menetes dari kepalanya.
Sementara itu, di tempat lain, air menetes dari langit. Jatuh menghantam
bumi. Satu per satu dalam ritme yang begitu cepat. Basau memegang telepon
genggam. Nada tunggu tak kunjung sampai pada ujung penantian.
Basau begitu ingin memberikan kabar pada anaknya. Bahwa hujan telah turun
dengan begitu lebat. Setidaknya dalam dua jam terakhir. Meluruhkan asap-asap
yang beberapa minggu terakhir tampak begitu berkuasa, menjadi seperti tanpa
daya. Membuat udara sore jauh lebih bersahabat.
Di antara nada tunggu yang semakin membuat jemu, Basau tahu telah terjadi
sesuatu. Televisi di rumah mengabarkan kerusuhan yang terjadi saat mahasiswa
berunjuk rasa di ibu kota.
Asap telah semakin tipis. Bahkan nyaris menghilang, tapi dadanya justru
terasa bertambah sesak. Matanya perih. Perih sekali. Ingatannya melayang pada
kejadian dua puluh tahun lalu.
Rizqi Turama, lahir di Palembang, 4 April 1990. Dosen di Universitas Sriwijaya. Pernah
mengikuti lokakarya cerpen Kompas tahun
2016. Salah satu cerpenis pilihan Kompas tahun
2018. Aktif di Sanggar EKS dan Komunitas Kota Kata Palembang.
Joko Suharbowo, biasa disapa Bowo, pernah menempuh studi di Institut Teknologi Bandung.
Saat ini bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Jakarta dan masih tetap
berusaha bergiat dengan kegiatan seni rupa.
Tidak ada komentar