Pernahkah kalian menjelma jadi ikan? Aku yakin, kalian akan menjawab, ”Tak
pernah.” Andai ada yang menjawab, ”Pernah,” tentu akan segera menyambung,
”dalam mimpi.” Tetapi Bella, bocah perempuan delapan tahunan itu, sangat yakin
sedang tidak bermimpi.
Berbeda dengan mimpi yang segalanya serba kabur dan tak jelas, Bella bisa
melihat dan merasakan semua yang ada di sekitarnya sangat rinci dan nyata. Dan
semua yang rinci dan nyata itu—inilah yang paling membuat Bella
yakin—berhubungan dan berkelanjutan dari kehidupan Bella sebelumnya sebagai
manusia.
Harusnya Bella bahagia, karena menjadi ikan memang adalah harapannya. Tapi,
dalam kehidupan sebelumnya sebagai manusia, Bella ingin jadi butterfly fish,
bukan blue devil. Butterfly fish adalah jenis ikan yang cantik, bertubuh tipis
dengan motif sisik bergaris lurik-lurik, melengkung, naik dari perut, melebar
terus ke punggung, sehingga tampak seperti sayap kupu-kupu. Sedangkan blue devil,
sosok Bella kini, adalah jenis ikan berwarna biru gelap dengan motif sisik
bertotol-totol, pendek gemuk, sirip dan ekor terjulur berat, melambai lamban,
tak ubahnya tangan-tangan dan kaki-kaki yang malas.
Hal lain yang juga tak sesuai dengan harapan, bahkan ini sangat
mengecewakan Bella, Papa ternyata bohong. Bella ingat bagaimana saat sebelumnya
sebagai manusia ia dan Papa berdiri di depan akuarium ini. Jongkok, menyamakan
tinggi tubuhnya dengan Bella, Papa menunjuk ke sesosok ikan yang hampir tak terlihat
karena corak dan warna tubuhnya sangat mirip dengan koral. ”Namanya false pipe
fish,” ujar Papa, ”Atau nama latinnya Solenostomus paradoxus,
ikan favorit Papa.”
”Kenapa favorit?” tanya Bella penasaran.
”Karena pintar menyamar. Ia bisa mengubah warna tubuh, menyesuaikan dengan
corak dan warna sekitar.”
Bella mengangguk-angguk, kagum. Memang, setelah dengan cermat mengamati
seluruh isi akuarium, Bella melihat ikan false pipe itu ada di beberapa tempat
dan sosok masing-masingnya nyaris serupa dengan latar tempat ikan itu berada.
Tetapi sekarang, setelah berada di dalam akuarium, Bella tahu yang sebenarnya:
bukan karena bisa mengubah corak dan warna tubuh sesuai dengan sekitar,
melainkan karena false pipe adalah jenis ikan yang corak dan warna tubuhnya sangat
beragam dan, untuk menyamar, masing-masing ikan sengaja memilih tempat berburu
yang sesuai dengan corak dan warna tubuhnya. Hhh, kenapa Papa berbohong?
Tetapi ah, Papa memang suka bohong. Tidak sekali-dua kali kebohongan Papa
didapati Bella. Mendadak, pikiran Bella berkelebat ke hal lain. Ke akuarium
ini. Papa pernah bilang, kaca akuarium mereka terbuat dari bahan langka yang,
kalau ikan-ikan melihat ke luar akuarium, semua manusia di luar akuarium akan
tampak wajah aslinya. Wajah asli? Ingin tahu, sangat penasaran tentu, Bella
langsung bertanya, ”Wajah asli gimana, Papa?”
”Wajah asli yang berkaitan dengan sifat manusia. Misal, bila manusianya
jahat, buas, maka wajah si manusia akan tampak seperti harimau atau yang
semacamnya. Jahat, buas, ditambah licik, maka wajah si manusia akan tampak
seperti ular, hyena, atau yang semacamnya. Kira-kira begitu.”
Mmm, tentang itu, tentang ”keajaiban” kaca akuarium ini, Bella segera ingin
tahu: apakah Papa juga berbohong?
Akuarium ini—lebih tepatnya oceanarium, karena berekosistem air
laut—terletak di ruang kerja papa Bella. Disebut ruang kerja, bukan kamar
kerja, karena ruang kerja papa Bella sungguhlah luas. Ada tiga ruangan yang,
kalau ketiga ruangan digabung, luasnya hampir 150 meter persegi. Menempel, tapi
tampak seperti terpisah dari rumah induk, dengan luas seluruh bangunan rumah
500 meter persegi. Papa Bella sengaja membuat arsitektur rumah seperti itu
karena ia seorang tokoh teras sebuah partai politik yang, kadang, tak jarang,
menerima tamu dalam jumlah banyak.
Oceanarium terletak di ruang kedua, sesudah ruang tamu yang luas, sebelum
ruang kerja pribadi papa Bella. Ruang kedua ini sebetulnya juga berfungsi
sebagai ruang tamu, tetapi untuk tamu-tamu khusus dan penting, para petinggi
partai politik. Bila papa Bella menerima tamu di ruang kedua, Bella bisa
merasakan suasana khusus dan penting itu. Papa bisa tak nongol-nongol ke rumah
induk, sampai seharian. Dan bila kedatangan tamu-tamu khusus itu bertepatan
dengan saat Mama juga tak di rumah, maka lengkaplah: Bella kesepian.
Tetapi tidak, kini tidak lagi. Takkan pernah lagi Bella merasa sepi, karena
telah jadi ikan. Lihatlah, kini Bella punya sangat banyak kawan. Selain
butterfly dan false pipe, jenis-jenis ikan lain sangatlah ramai: yellow tang
yang mirip-mirip butterfly tapi warna tubuhnya melulu kuning, watchman goby si
tubuh-udang yang lincah, dottyback yang selintas tampak pendiam tapi ternyata
agresif, clown si badut yang lebih kalian kenal dengan nama Nemo, dan banyak
jenis ikan lain dengan polah dan tingkah mereka yang lucu-lucu. Walau menjelma
jadi blue devil, tidak butterfly fish seperti yang Bella harap, bukankah dunia
Bella kini memang terasa lebih menyenangkan?
Bella akan bergerak, bergabung dengan blue devil lain, ketika ada
suara-suara di luar oceanarium. Bella menoleh, memandang ke arah pintu ruang
kerja Papa dan, benar, daun pintu kini terbuka. Dari balik pintu, pintu dari
ruang tamu pertama tentu, beberapa sosok muncul, melangkah masuk ke dalam
ruangan. Bella mengalihkan gerak, berenang mendekati kaca dan … betapa Bella
terkejut. Sosok-sosok itu, sosok-sosok manusia yang melangkah masuk itu, semua
berkepala binatang! Harimau, hyena, ular, buaya, babi … ohh!
Kali ini Papa tak bohong, batin Bella. Bahkan ”wajah asli” itu bukan hanya
wajah, melainkan seluruh kepala. Mata Bella kian nanap memperhatikan. Papa dan
tamu-tamu pentingnya. Tiga sosok berkepala hyena, dua sosok berkepala ular, dan
tiga lainnya—harimau, babi, dan buaya—masing-masing satu sosok. Bella mencari
dan menerka-nerka, yang manakah sosok Papa? Semua seperti tak cocok. Semuanya
binatang buas dan berbahaya. Tetapi eh, babi tidak. Apakah yang berkepala babi
adalah Papa?
Dari gerak-gerik kedelapan sosok yang kini duduk melingkar di meja bersegi
enam itu, sepertinya yang berkepala babi memang adalah Papa. Bella ingat, sosok
berkepala babi itu juga yang tadi pertama muncul ketika daun pintu terkuak.
Meja bersegi enam itu terletak cukup jauh dari oceanarium, sehingga Bella
tidak bisa dengan jelas mendengar percakapan kedelapan sosok itu. Beberapa kata,
karena sering diulang, memang tertangkap oleh telinga Bella: ”kampanye”,
”uang”, ”calon kita”, ”tim sukses”, tapi tak seorang pun dari mereka yang
menyebutkan nama setelah kata ”pak”. Ada juga kata-kata ”saham”, ”ATM”, ”bos”,
”bos besar”, ”ketua”. Eh, ketua. Tidakkah panggilan ”ketua” itu biasa ditujukan
untuk Papa? Walau Papa tak membolehkan Bella ada setiap Papa menerima tamu,
sapaan ”ketua” pernah Bella dengar dari teman-teman Papa. Entah itu di
percakapan telepon, ataupun pada titipan pesan melalui Om Rudi.
Kalau begitu, tak salah lagi. Orang yang pertama muncul itu, si Babi,
memang adalah Papa. Dan Om Rudi, ingatan Bella kepada Om Rudi—sopir Papa,
membuat Bella juga jadi ingat tentang hal-hal lain yang pernah ia dengar dari
si Sopir. Walau tak begitu mengerti, Bella bisa menduga kesibukan Papa yang
tinggi hari-hari ini karena di beberapa daerah akan diselenggarakan pemilihan
kepala daerah, atau, singkatan yang sering didengar Bella, pilkada.
Kedelapan sosok berkepala binatang di meja bersegi enam itu kini tertawa,
keras. Si kepala babi berdiri, menjentikkan jari ke udara, seperti ada
persoalan besar yang telah terpecahkan dengan gemilang. Seorang lain, salah
seorang dari yang berkepala hyena, juga berdiri, merangkul si Babi. Mereka
berdua—sementara yang lain masih tertawa-tawa—melangkah ke arah oceanarium.
Karena jarak yang semakin dekat, Bella kini bisa mendengar dengan jelas saat si
Hyena bicara, ”Itu sebab Socrates bilang kebohongan dibutuhkan oleh kebajikan,
ya?”
Si Babi menganggukkan kepala. ”Dan cost-nya, tidakkah
jauh lebih murah?”
”Iya, ha-ha-ha! Cara menarik simpati pemilih paling mudah dan murah,
memang, adalah dengan berbohong.”
”Dan jangan lupa, kenapa rezim sebelumnya bisa bertahan sampai 32 tahun?
Tak lain tak bukan, karena kebohongan.”
Dua kepala binatang itu kini menunduk, membungkukkan tubuh, menikmati
pemandangan dalam oceanarium. Wajah mereka menyorong, tepat di depan Bella yang
terpaku di balik kaca. Oh! Betapa, betapa Bella melihat dua lubang hidung yang
luar biasa besar dari si Babi, gelap kelam, seperti gua. Betapa Bella melihat
gigi-gigi raksasa si Hyena, runcing tajam, seperti ruyung-ruyung galiga.
Namun, yang membuat Bella merasa mual dan ingin muntah tiba-tiba, adalah
lendir yang mengalir dari hidung si Babi dan lidah merah terjulur dengan ludah
yang menetes-netes dari moncong si Hyena.
Pernahkah kalian menjelma jadi ikan? Aku yakin, kalian akan menjawab, ”Tak
pernah.” Andai ada yang menjawab, ”Pernah,” tentu akan segera menyambung,
”dalam mimpi.” Tapi Bella, bocah perempuan delapan tahunan itu, tetap yakin ia
tak bermimpi walau—setelah muntah-muntah lalu semuanya gelap dan membuka
mata—mendapatkan tubuhnya terbaring di atas tempat tidur dan, di sebelah Bella,
duduk mama Bella berlinang air mata. Betapa, betapa Bella tak percaya.
”Aku ikan, Mama …,” Bella mengulang apa yang sejak tadi ia bilang.
”Tidak, Sayang. Kamu sakit, telah lama sakit ….” Mama Bella menghapus air
mata. Tersedu.
”Aku ikan … blue devil ….” Bella mengangkat tangannya, memperlihatkan sirip
yang lamban dan malas itu. Tapi, yang Bella dapati kini, adalah tangan kecil
yang kurus, lemah, dan pucat.
”Aku ikan ….”
”Tenanglah, Sayang … ,” mama Bella menahan sedu. ”Itu papamu datang.”
Papa? Bella mendengar suara langkah di luar kamar seperti terburu. Lalu
bunyi klik dan kuak daun pintu. Suara langkah bergegas mendekat ke tempat
tidur. Sebuah kepala lalu terjulur dan … mendadak, Bella kembali merasa mual!
Si Babi. Lelaki berkepala Babi.
-----
Gus tf Sakai, lahir 13 Agustus 1965. Seorang pengarang dan penyuka akik
lumut hijau Suliki. Telah menerbitkan lima buku kumpulan cerpen dan, sampai
sekarang, menetap di kota kelahirannya, Payakumbuh, Sumatera Barat.
Davawi, kelahiran Denpasar, Februari 1995. Sejak tahun 2013 aktif dalam
menyelenggarakan berbagai kegiatan seni budaya di Bentara Budaya Bali. Pemenang
I Peserta Terbaik Workshop Dasar Penyutradaraan Pusbang Film 2018 &
Workshop Menengah Penyutradaraan Pusbang Film 2018.
Tidak ada komentar